JAWABAN ISLAMI TERHADAP
PROBLEM PERBURUHAN
Tiga sumber ekonomi, yaitu pertanian,
perindustrian, dan perdagangan, itu menghasilkan produksi tidak lain karena
bantuan manusia. Manusialah yang bercocok-tanam di lahan pertanian. Manusialah
yang membuat berbagai produk industri dan menjalankan berbagai peralatan pabrik.
Dan manusialah yang melakukan transaksi jual-beli. Oleh karena itu tenaga
manusia merupakan sumber yang penting di antara sumber-sumber kakayaan. Meskipun
tenaga manusia dalam pertanian merupakan suatu keharusan, namun ia bagian dari
pertanian. Begitu juga halnya dengan perindustrian dan perdagangan, meskipun
pada keduanya tenaga manusia harus ada, tetapi tenaga manusia bukan bagian dari
keduanya. Namun, tenaga manusia merupakan sumber ekonomi yang independen
sebagaimana ketiga sumber ekonomi lainnya.
Tenaga manusia adalah aktivitas yang dilakukan
manusia, baik berhubungan dengan fisik atau tidak. Karenanya orang yang
melakukan pekerjaan dikatakan buruh. Hanya saja, jika tenaga yang digunakan
tersebut untuk memproduksi barang-barang bagi dirinya sendiri, maka tidak
membutuhkan pembahasan. Sebab sebesar apapun hasil produksinya maka menjadi
milik sendiri, dan sebesar apapun tenaga yang dikerahkan tetap untuk dirinya
sendiri. Oleh karena itu, tidak didapatkan masalah yang membutuhkan solusi yang
memerlukan hukum-hukum tertentu baginya.
Namun jika tenaga yang digunakan tersebut untuk
memproduksi barang bagi orang lain dengan kompensasi upah, maka ini membutuhkan
pembahasan. Sebab, didapatkan berbagai masalah yang membutuhkan solusi, sehingga
memerlukan hukum-hukum tertentu baginya. Oleh karena itu, pembahasan tenaga
manusia sebagai sumber di antara sumber-sumber kekayaan yang memerlukan solusi
hanya meliputi tenaga dari para pekerja yang disewa (buruh) saja. Maka tidak
berlebihan, jika dikatakan bahwa ia merupakan pembahasan tentang perburuhan,
sebab pekerja adalah setiap orang yang bekerja. Sebutan pekerja umum untuk
setiap orang yang bekerja, termasuk orang yang bekerja untuk dirinya sendiri,
dan orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah (gaji/reward).
Orang yang bekerja untuk dirinya sendiri tidak termasuk dalam pembahasan, namun
yang termasuk dalam pembahasan hanyalah orang-orang yang bekerja untuk orang
lain dengan mendapatkan upah. Maka lebih cermat dikatakan buruh, dan tidak
dikatakan pekerja, sebab pembahasan di sini adalah pembahasan buruh bukan
pembahasan pekerja.
Buruh adalah setiap manusia yang bekerja untuk
mendapatkan upah, baik pihak yang mengontrak (pengusaha) itu individu, jama’ah
atau negara. Pegawai negeri adalah buruh, pegawai jama’ah seperti perseroan
adalah buruh, dan pegawai individu adalah buruh. Sehinga buruh tani, pekerja
pabrik, pembantu rumah tangga, akuntan, dan makelar jual-beli semuanya adalah
buruh. Upah adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan
yang dikerjakan manusia, baik berupa uang atau barang, sebab semua itu adalah
harta. Mengingat definisi harta adalah setiap sesuatu yang dapat disimpan untuk
kekayaan, yakni setiap sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Pembahasan ekonomi tentang buruh dibangun
berdasarkan pengetahuan pijakan yang menjadi dasar penentuan gaji buruh. Dengan
dasar ini dibangun hukum-hukum yang berkaitan dengan kontrak kerja buruh. Untuk
mengetahui dasar ini harus mengetahui realitas buruh terlebih dahulu. Dengan
mengetahui realitasnya akan menjadi jelas pijakan yang menjadi dasar penentuan
gaji buruh.
Jika kita perhatikan ide kontrak kerja manusia
untuk melakukan suatu pekerjaan dengan kompensasi upah. Maka aktivitas tersebut
telah dimulai sejak manusia mulai mengerahkan tenaganya untuk memperolah harta
yang akan ditukarnya, di samping untuk dikonsumsinya secara langsung, setelah
manusia mengerahkan tenaga untuk mendapatkan harta yang akan dikonsumsi secara
langsung, ketika manusia mengerahkan tenaga untuk memperoleh harta yang akan
dikonsumsi secara langsung, maka tidak terdapat upah, sebab upah ketika itu
belum mereka butuhkan. Namun ketika manusia mengerahkan tenaganya untuk ditukar,
maka didapatkan upah buruh, sebab tenaga ini terkadang dijadikan pengganti atas
tenaga yang lain, atau sebagai pengganti atas harta. Dengan demikian harus ada
standar yang menentukan nilai tenaga yang akan ditukar dengan yang lainnya, agar
memungkinkan untuk ditukar dan menentukan nilai harta yang hendak diperoleh
sebagai pemuas sehingga memungkinkan untuk ditukar antara yang satu dengan yang
lainnya, atau ditukarnya dengan tenaga. Oleh karena itu, harus ada standar yang
menentukan nilai tenaga dan nilai harta yang sama, sehingga memungkin ditukar
antara yang satu dengan yang lainya, dan menukar harta dengan tenaga, serta
tenaga dengan tenaga. Dengan demikian, mereka sepakat dengan upah uang yang
menjamin manusia untuk mendapatkan harta yang diperlukan sebagia alat pemuas,
dan menjaminnya untuk mendapatkan tenaga yang diperlukan sebagai alat pemuas.
Kompensasi yang berupa uang jika dikaitkan dengan
barang dinamakan harga (tsaman), dan jika dikaitkan dengan tenaga dinamakan upah
(ujroh). Menukar barang yang sebanding dengan zat barang itu adalah harga,
sedang menukar tenaga yang sebanding dengan manfaat tenaga dikerahkan manusia
disebut upah, bukan harga. Sekalipun kompensasi dalam bentuk uang itu dijadikan
sebagai standar nilai barang dan nilai manfaat tenaga, yang berarti satu dalam
dua perkara (two in one), tetapi itu hanya sebagai standar saja. Standar ini
dilihat dari aspek jenis, bukan dari aspek jumlah. Eksistensinya sebagai standar
bagi nilai barang dan nilai manfaat tenaga tidak membentuk tenaga langsung di
antara keduanya, dan tidak menjadikan salah satunya tergantung pada yang lain
sehingga tidak ditemukan hubungan secara langsung antara jual-beli dan sewa,
selain eksistensi keduanya sebagai transaksi yang dijalankan individu diantara
individu-individu manusia. Transaksi sewa tidak tergantung pada transaksi
jual-beli, dan upah tidak tergantung dengan harga, serta tidak ada hubungan
antara yang satu dengan yang lain, sebab harga sebagai pengganti harta yaitu
pertukaran harta dengan harta, baik harta itu diukur dengan nilai atau dengan
harga.
Sedangkan upah merupakan pengganti tenaga. Tenaga
ini tidak selalu menghasilkan harta, terkadang menghasilkan harta dan terkadang
tidak. Sebab manfaat tenaga tidak terbatas untuk menghasilkan harta, tetapi ada
manfaat-manfaat lain selain harta. Tenaga yang dicurahkan dalam pertanian,
perindustrian, atau perdagangan akan menghasilkan harta, sedangkan jasa-jasa
yang diberikan dokter, insinyur,pengacara, dosen, dan profesi yang sejenisnya
tidak menghasilkan harta.
Jika seorang pengrajin mengambil upah, maka dia
mengambil upahnya sebanding harta yaang dihasilkannya. Namun seorang insinyur,
apabila ia mengambil upah, maka dia tidak mengambil upahnya sebanding dengan
harta yang dihasilkan, sebab dia tidak menghasilkan harta apa pun, namun dia
mengambil sebanding dengan manfaat yang diberikan kepada yang memberi upah
(pengusaha). Untuk itu, penentuan harga harus sebanding dengan harta. Berbeda
dengan penentuan manfaat tenaga. Maka ia tidak sebanding dengan harta, tetapi
sebanding dengan manfaat yang diberikan, terkadang berupa harta, dan terkadang
selain harta. Dengan demikian transaksi jual-beli berbeda dengan transaksi
kontrak kerja buruh, dan harga berbeda dengan upah.
Dasar Pijakan Penentuan Gaji
Hanya saja, perbedaan makna jual-beli dengan
ijaroh serta harga dengan upah tersebut tidak berarti tidak adanya hubungan
antara keduanya sama sekali. Perbedaan tersebut maknanya adalah agar transaksi
ijaroh tidak dibangun berdasarkan transaksi jual-beli, dengan demikian
pula sebaliknya, transaksi jual-beli tidak dibangun didasarkan transaksi
ijaroh. Sehingga harga tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan upah, demikian
juga sebaliknya, upah tidak ditentukan berdasarkan perkiraan harga. Sebab,
mendasarkan penentuan salah satu di antara keduanya atas yang lain akan
menyebabkan harga-harga barang yang dihasilkan oleh seorang buruh ditentukan
berdasarkan upah yang dituntut olehnya. Padahal harga barang-barang seharusnya
diputuskan oleh seorang pengusaha, dan bukan oleh buruh berdasarkan pasar yang
normal.
Apabila penentuan harga-harga tersebut dikaitkan
dengan seorang buruh, maka hal itu akan menyebabkan kesewenang-wenangan seorang
pengusaha terhadap seorang buruh, dimana dia akan bisa menaikkan dan menurunkan
upah dengan seenaknya, dengan alasan naik turunnya harga. Cara semacam ini tidak
diperbolehkan, sebab upah seorang buruh itu merupakan kompensasi dari manfaat
pekerjaannya, yang akan disesuaikan dengan nilai manfaat di pasaran umum
terhadap manfaat itu. Oleh karena itu, upah seorang buruh tidak boleh dikaitkan
dengan harga-harga barang yang dihasilkan. Tidak
dapat dikatakan bahwa turunnya harga-harga barang yang dihasilkan seorang buruh,
akan menyebabkan ruginya seorang pengusaha yang berdampak pada phk buruh. Tidak
dapat dikatakan demikian, karena
hal ini dalam jangka pendek jelas merupakan
tindakan sewenang-wenang. Sebab, terkadang di bulan ini harga-harga barang turun
disebabkan banyaknya penawaran (supply), dan di bulan berikutnya harga barang
naik disebabkan sedikitnya penawaran. Jika seorang pengusaha menaikkan atau
menurunkan upah buruh, berarti dia membuat ketentuan upah semaunya, dengan
alasan naik turunnya harga-harga barang. Dengan demikian, menjadikan buruh
benar-benar tergantung pada belas kasih pengusaha. Dan ini berarti
kesewenang-wenangan.
Sesungguhnya naik dan turunnya harga-harga barang
tidak berpengaruh terhadap pemilik sawah atau pabrik dalam jangka pendek, dan
tidak akan menyebabkan keduanya bangkrut, sehingga tidak dapat dihubungkan
dengan masalah kerugian secara mutlak, pengaruh itu terjadiapabila harga-harga
barang turun di seluruh pasar atau di semua pasar lokal, namun keduanya tidak
akan berpengaruh kecuali jika terjadi dalam jangka waktu yang lama, saat itulah
terjadi kerugian, dan resiko mengeluarkan pekerja dari pabrik itu ada.
Sedangkan, jika terjadinya penurunan harga-harga barang itu hanya sementara,
maka tidak akan terjadi kerugian.
Kerugian itu terjadi apabila harga-harga barang
turun di suatu negara tetapi tidak di negara lain. Tidak akan terjadi kerugian,
apabila yang mengalami penurunan di pasar lokal hanya sebagian barang saja.
Tetapi, apabila terjadi penurunan semua harga barang, meski hanya sebentar, maka
hal itu tidak berpengaruh terhadap upah, namun akan berpengaruh terhadap biaya
produksi barang itu saja yang selanjutnya akan terjadi phk. Dalam kondisi ini,
mungkin sawah atau pabrik yang lain tidak berpengaruh terhadap upah.
Apabila terjadi penurunan semua harga barang pada
semua pasar lokal, atau bahkan di semua pasar, maka akan terjadi penurunan semua
harga di pasar, sehingga secara alami akan terjadi penurunan upah di negeri itu.
Turunnya upah ini hanya terjadi pada seluruh profesi buruh. Bukan pada buruh
tertentu. Dengan demikian pada pasar komoditi secara umumlah yamg menjadi
penentu harga barang dan keadaan pasar tenaga kerja secara umum sebagai penentu
upah. Pasti akan terjadi keterpengaruhan pasar umum tenaga kerja oleh pasar umum
komoditi lantaran menjadikan suatu standar pada keduanya. Begitu juga
keterpengaruhan ini terjadi di pasar umum komoditi maupun tenaga kerja apabila
nilai uang yang sama dijadikan standar keduanya mengalami penurunan dan
kenaikan. Hal ini tidak berarti terikatnya upah dengan harga. Pengaruh pasar
umum terhadap manfaat buruh adalah apabila di pasar umum terjadi penurunan harga
barang dalam jangka pendek, maka barang dipengaruhi oleh penurunan ini. Begitu
pula tidak ada kaitan antara upah dengan harga barang, dimana penentuan salah
satu tergantung pada penentuan yang lain pada barang yang sama. Bahkan tidak
terkait dengan semua barang. Namun, penurunan itu hanya berpengaruh dalam satu
kondisi saja; yaitu terjadinya penurunan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu,
tidak boleh menentukan upah berdasarkan ketentuan harga. Tetapi upah ditentukan
berdasarkan pendapat para ahli ketenagakerjaan di pasar umum (bursa) tenaga
kerja, menurut pemantauan mereka terhadap pasar itu. Dengan demikian, penentuan
upah dilakukan secara langsung, bukan karena keterpengaruhan bursa tenaga kerja
oleh bursa komoditi. Artinya, bukan ditentukan oleh harga barang dan bursa
barang. Namun hanya menurut perkiraan para ahli di pasar bursa tenaga kerja
saja, maka penilaian para ahli dipasar bursa tenaga kerja yang memaksakan
ketentuan upah.
Di samping itu, maka membangun transaksi ijaroh
berdasarkan transaksi jual-beli, dan membangun transaksi jual-beli berdasarkan
transaksi ijaroh akan menyebabkan penentuan harga-harga kebutuhan
didasarkan pada upah seorang buruh. Padahal, penentuan harga-harga barang yang
diproduksi tersebut tidak seharusnya ditentukan berdasarkan kesejahteraan
seorang buruh, harga barang tidak boleh berdasar pada upah buruh. Sebab
penentuan harga barang berdasarkan upah buruh akan menyebabkan kesejahteraan
seorang buruh, berada di tangan pengusaha, sehingga pengusaha yang harus
menjamin kesejahteraan buruh tersebut. Seharusnya kesejahteraan setiap orang
adalah bagian dari pelayanan terhadap urusan rakyat yang berada di tangan
negara, bukan di tangan pengusaha yang bersangkutan. Bahkan, mengaitkan antara
kesejahteraan seorang buruh dengan hasil kerjanya itu tidak diperbolehkan.
Sebab, kadangkala seorang buruh itu secara fitrah lemah, dan hanya sanggup
menghasilkan sedikit, sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya.
Apabila upah seorang buruh tersebut dikaitkan
dengan apa yang dihasilkan, atau dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan,
maka dia telah dilarang untuk menikmati kehidupan yang layak. Cara semacam ini
tentu tidak diperbolehkan. Sebab, hak hidup tersebut wajib diberikan kepada
setiap warga negara, baik menghasilkan banyak atau sedikit, baik dia memiliki
kemampuan berproduksi atau tidak. Dengan demikian upah ditentukan berdasarkan
nilai manfaat (jasa)nya, baik mencukupi kebutuhannya atau tidak. Oleh karena itu
suatu kesalahan, menentukan upah seorang buruh berdasarkan harga barang yang
dihasilkannya, atau berdasarkan nilai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya.
Selanjutnya, merupakan suatu kesalahan pula membangun transaksi ijaroh
berdasarkan transaksi jual-beli, dan membangun transaksi jual-beli berdasarkan
transaksi ijaroh. Dengan demikian tidak diperbolehkan membangun harga
berdasarkan upah, dan sebaliknya, membangun upah berdasarkan harga (barang).
Sebab, penentuan upah merupakan satu hal, sedang penentuan harga merupakan hal
lain. Masing-masing memiliki faktor serta standar tertentu dalam menentukannya.
Selama upah tidak dibangun berdasarkan harga, dan
sebaliknya, harga tidak dibangun berdasarkan upah, maka tidak dibenarkan
menjadikan hasil produksi seorang buruh sebagai standar menentukan upah.
Sehingga upahnya tidak ditentukan berdasarkan harga, dan sebaliknya. Keduanya
tidak terkait secara langsung, begitu juga, tidak boleh menjadikan tingkat
kehidupan masyarakat sebagai standar untuk menentukan upah. Sehingga tidak
diperbolehkan menentukan upah menurut tingkat kesejahteraan buruh, agar dapat
hidup layak. Sebab, tidak diperbolehkan menjadikan tingkat kehidupannya sebagai
standar untuk menentukan upah. Berdasarkan, penjelasan sebelumnya, orang-orang
kapitalis dan sosialis telah melakukan kesalahan dalam membuat pijakan yang
dijadikan dasar untuk menentukan upah.
Orang-orang kapitalis memberikan upah kepada
seorang buruh dengan upah yang dianggap wajar. Upah yang dianggap wajar menurut
mereka adalah apa yang dibutuhkan oleh seorang buruh, yaitu biaya hidup dengan
batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban hidup bertambah
pada batas paling minim. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban
hidupnya berkurang. Sehingga menurut mereka, upah seorang buruh ditentukan
berdasarkan beban hidupnya, tanpa memperhatikan jasa (manfaat) tenaga yang
diberikannya.
Sesungguhnya, mereka melakukan itu semua, karena
mereka membangun transaksi ijaroh berdasarkan transaksi jual-beli,
sehingga hal ini menyebabkan upah seorang buruh. Untuk itu, semua upah seorang
buruh menurut sistem ini, yakni sistem yang menjadikan standar hidup sebagai
dasar dalam menentukan upah seorang buruh, mereka akan selalu membatasi
kepemilikan sebatas apa yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
paling minim pada komunitas mereka. Baik standar hidup itu terpenuhinya
kebutuhan kebutuhan primer saja, sebagaimana kondisi para buruh yang berada di
negeri-negeri Islam, atau standar hidupnya adalah terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan primer, skunder dan tersier, sebagaimana para pekerja di
negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika. Cara seperti ini merupakan suatu
kezaliman, sebab bertentangan dengan realitas buruh.
Sedangkan orang-orang sosialis, kaidah dalam
memberikan upah seorang buruh adalah “Bagi masing-masing (pekerjaan) sesuai
kemampuan atau kesanggupannya, dan bagi masing-masing (memperoleh bagian) sesuai
kerjanya”, artinya sesuai yang dihasilkan. Mereka melakukan semua itu, karena
mereka membangun transaksi ijaroh berdasarkan transaksi jual- beli,
sehingga mereka memberikan (upah) pekerja sesuai yang dihasilkannya. Dalam
keadaan apapun cara seperti ini tetap merupakan kezaliman sebab jika hasilnya
sedikit karena turunnya harga-harga barang yang dihasilkan di pasar, maka
sesungguhnya itu kezaliman terhadap buruh, mengingat upah yang diperolehnya
tidak sampai pada batas minimum kesejahteraannya, sehingga dia terpaksa
meninggalkan pekerjaannya. Jika hasilnya banyak sebab tingginya harga
barang-barang yang dihasilkannya di pasar, maka sesungguhnya itu kezaliman
terhadap pengusaha, karena dia telah memberikan profitnya kepada buruh, padahal
buruh tidak berhak atas profit itu.
Oleh karena itu, menentukan upah berdasarkan hasil
produksi buruh, yakni menurut harga penjualan barang yang diproduksinya di pasar
adalah kedzaliman. Di samping itu, eksistensinya salah karena kontradiksi dengan
realitas buruh. Dengan kembali pada realitas buruh, maka kita dapati bahwa
seorang buruh tidak menukar tenaganya kecuali untuk memperoleh komoditi atau
tenaga (jasa) yang lain, sehingga tenaga yang dicurahkan itulah yang seharusnya
dijadikan pijakan
Hanya saja, ia tidak berusaha memperoleh tenaga
itu, sebab ia sekedar tenaga, tetapi manfaat yang ada pada tenaga itulah yang
diusahakannya. Manfaat (jasa) tenaga merupakan pijakan (asas) yang orisinal, dan
bukan tenaga. Karena manfaatlah yang merupakan tempat pertukaran, sedang tenaga
dicurahkan hanya untuk mendapatkan manfaat. Dengan demikian, manfaat (jasa)
seorang buruh merupakan pijakan yang dijadikan dasar dalam menentukan upah.
Manfaat tenaga ini seperti komoditi, memiliki
bursa, permintaan dan berlangsung transaksi pertukaran. Harga manfaat tenaga itu
ditentukan berdasarkan harga di pasar. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan
harga komoditi secara paksa, sebab akan mengakibatkan timbulnya pasar gelap dan
membahayakan produksi. Begitu juga tidak diperbolehkan menetapkan harga manfaat
secara paksa karena mengakibatkan bahaya pada kekayaan dengan membatasi hasil
produksi, dan menghambat aktivitas. Oleh karena itu, harus membiarkan penentuan
harga manfaat tenaga, yakni upah seorang buruh menurut apa yang ditentukan oleh
pasar bursa terhadap manfaat (jasa) para pekerja.
Tranksaksi jual-beli itu berlangsung dengan
kerelaan dua orang yang bertransaksi jual-beli tersebut. Begitu juga, kontrak
kerja manfaat tenaga berlangsung dengan kerelaan buruh dan pengusaha. Jika
keduanya telah sepakat pada suatu upah, sedang upah tersebut telah disebutkan
(ajru al-musamma), maka keduanya telah terikat dengan upah tersebut. Dan jika
keduanya tidak sepakat pada suatu upah, maka keduanya terikat dengan apa yang
dikatakan para ahli di pasar umum terhadap manfaat tenaga tersebut (ajru
al-mitsl). Hanya saja upah ini tidak bersifat abadi, namun terikat pada masa
tertentu yang telah disepakati untuk dikerjakan. Jika masanya telah berakhir,
atau pekerjaannya telah usai, maka dimulai ketentuan baru terhadap upah sesuai
dengan penilaian pasar umum terhadap manfaat tenaga, ketika melakukan penentuan
(upah). Inilah realitas buruh. Realitas ini merupakan pijakan dalam menentukan
upah seorang buruh.
Islam dalam menentukan seorang buruh menggunakan
dasar ini. Para fuqaha telah mendefinisikan ijaroh sebagai
transaksi terhadap manfaat (jasa) tertentu dengan suatu kompensasi. Mereka
menjadikan transaksi tergantung pada manfaat, dan menjadikannya kompensasi
sebanding dengan manfaat (jasa), artinya menjadikan jasa sebagai dasar dalam
menentukan upah. Para fuqaha mengatakan bahwa transaksi ijaroh
adalah buruh memberikan manfaat kepada pengusaha sedangkan pengusaha yang
memberikan manfaat kepada buruh. Konklusi ini berdasarkan dalil-dalil yang
membolehkan transaksi ijaroh. Allah berfirman,“Apabila mereka
(wanita-wanita ) menyusui (anak) kalian, maka berikanlah mereka
upah-upahnya” (QS. Ath-Thalaq: 6).
Firman Allah ini menjadikan pemberian upah sebagai
kompensasi atas menyusui. Nabi saw. bersabda, “Allah swt berfirman: ‘Tiga
orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan
(bai’at kepada khalifah) karena Aku lalu berkhianat, dan orang yang menjual
(sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga(hasil) penjualannya,
serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan
pekerjaannya sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya.’”
Hadits ini menjadikan pemenuhan manfaat (jasa)
sebagai keharusan mendapatkan upah, sehingga manfaat sebagai dasar dalam
menentukan upah. Transaksi dalam mengontrak buruh, adakalanya untuk mendapatkan
manfaat buruh (tenaga) itu sendiri. Apabila transaksi itu untuk manfaat
pekerjaan yang dikerjakan buruh, maka yang terikat dengan transaksi itu adalah
manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut, seperti mengontrak orang-orang
yang memiliki keahlian tertentu, atau mengontrak orang-orang untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan tertentu, semisal mengontrak tukang semir, pandai besi,
tukang kayu, insinyur, dokter, pengacara. Dan jika transaksi itu untuk
mendapatkan manfaat orangnya, maka yang terikat dengan transaksi itu adalah
manfaat orangnya secara langsung, seperti mengontrak pelayan dan tukang kebun.
Dalam dua keadaan ini harus terdapat upah yang jelas. Sebab Rasullulah saw.
bersabda, “Siapa saja beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah
ia mempekerjakan seorang buruh, sampai dia memberitahukan upahnya.”
Jika keduanya tidak menyebutkan upah tertentu, lalu
berselisih tentang upah yang disebutkannya, atau keduanya menyebutkan upah yang
belum jelas, seperti seorang mengontrak (orang, mesin) untuk menuai tanaman
dengan kompensasi sebagian dari tanaman tersebut, maka dalam semua
ini, seorang buruh diberi upah yang sepadan (ajrul mitsal) dan diputuskan para
ahli.
Tidak Ada Kenaikan
Upah Tahunan Bagi Para Pekerja
Upah yang telah ditentukan oleh para buruh, baik
dia sebagai pegawai di pemerintahan, akuntan perusahaan, atau pekerja di pabrik
merupakan upah yang ditentukan untuk masa tertentu, harian, bulanan, tahunan.
Akadnya diperbarui lagi setelah habis masanya. Dan dianggap memulai masa baru,
meski keduanya tidak memperbaruinya. Namun, buruh dan pengusaha wajib terikat
dengan upah yang telah ditentukan selama masa kontraknya. Jika telah habis masa
kontraknya, maka masing-masing memperbarui transaksi ijaroh dengan upah
baru, bukan yang pertama. Jika keduanya tidak melakukan, maka transaksi
ijaroh diperbarui dengan tetap pada upah yang pertama.
Dengan demikian, apa yang terjadi di kantor-kantor
pemerintahan, seperti kenaikan upah tahunan bagi para pegawai sesuai
kepangkatan, tidak dikenal dalam Islam. Sebab orang buruh diberi upah yang
disebutkan dalam masa kontraknya, sehingga kenaikan upah di tengah-tengah masa
kontrak, merupakan hal yang tidak mungkin. Akan tetapi seorang buruh itu
dikontrak harian, bulanan, atau tahunan. Seorang buruh boleh berunding dengan
pengusaha, baik pengusaha itu negara atau yang lainnya tentang kenaikan upah
sebelum memasuki masa kontrak yang baru, karena sebab-sebab yang baru.
Adakalanya seorang buruh telah memiliki banyak keahlian, karena pekerjaannya
bertambah, atau karena pekerjaannya berubah, seperti dipindah pada posisi yang
lain, atau upah yang sepadan dengan pekerjaannya telah naik di pasar, atau
karena hal-hal yang lain.
Apabila pengusaha rela, maka ketika itu ditentukan
upah baru yang lebih besar bagi buruh. Begitu juga pengusaha boleh menaikkan
upah buruh ketika memulai masa kontrak yang baru, ketika buruh rela dengan
kenaikan ini. Dengan demikian ditetapkan upah baru yang lebih besar bagi buruh.
Dalam dua keadaan ini, kenaikan tersebut tidak dianggap sebagai kenaikan upah
tahunan yang ditentukan, namun upah lain yang dinaikkan dari upah sebelumnya
dengan kerelaan pengusaha dan buruh.
Sedangkan, kenaikan upah tahunan yang terdapat
dalam sistem pemerintahan sekarang merupakan bagian dari sistem
kapitalis. Kenaikan itu hakikatnya adalah penipuan, sebab mereka menentukan
kepangkatan pegawai sesuai upahnya. Mereka memberikan pegawai upah yang kurang,
kemudian menaikkannya pertahun. Setelah beberapa tahun, dia sampai pada akhir
kepangkatan ini sehingga dia mendapatkan upah yang telah ditentukan baginya
ketika dia memulai pekerjaan tersebut. Mereka menganggap kenaikan upah ini
sebagai kenaikan upah tahunan.
Sedangkan Islam memberikan kepada
para pegawai semua upah yang menjadi haknya menurut pasar, sejak pertama dia
memulai pekerjaannya. Sedikitpun upah itu tidak dikurangi yakni memberi yang
lain apa yang dinamakan sebagai posisi istimewa, sehingga tidak ada kenaikan
kenaikan upah pertahun. Apa yang terjadi dalam Islam, seperti kenaikan upah bagi
para pegawai pemerintahan merupakan transaksi-transaksi lain untuk transaksi
ijaroh yang baru, dan bukannya kenaikan-kenaikan upah tahunan.
Begitu juga halnya dengan para
pekerja, upah yang telah ditentukan atas mereka tidak akan dinaikkan di saat
berlangsung kontraknya, tidak karena lamanya masa dia bekerja dan tidak pula
karena selain itu. Tetapi mereka mendapatkan upah yang telah disebutkan saja.
Hanya saja, mereka dibolehkan berunding sebelum berakhirnya masa kontraknya
untuk membicarakan upah baru yang lebih besar daripada upah yang telah berjalan,
karena sebab-sebab yang baru terjadi. Adakalanya karena jumlah upah yang sepadan
dengan pekerjaan mereka telah berubah, karena semakin profesionalnya dalam
menjalankan pekerjaannya atau karena selain itu. Dan mereka diperlakukan sama
persis seperti yang berlaku pada para pegawai, sebab mereka semua adalah para
buruh.
Islam Tidak Mengenal Problem Perburuhan
Problema perburuhan tidak dikenal
dalam Islam. Masalah ini ada karena menjadikan tingkat kehidupan yang paling
minim sebagai pijakan dalam menentukan upah seorang buruh. Sehingga para pekerja
tidak mendapatkan upahnya, kecuali upah yang hanya cukup untuk melangsungkan
kehidupannya, agar mereka tetap dapat bekerja. Cara itu melahirkan tindakan
sewenang-wenangnya para pemilik pekerjaan terhadap para buruh. Para buruh
menghadapi depresi, beban berat, kezaliman, serta eksploitasi keringat dan
tenaga mereka dari para pengusaha. Hal ini menimbulkan kemarahan yang besar dari
para buruh dan melahirkan doktrin sosialis yang menawarkan prinsip keadilan pada
kaum buruh dengan membatasi waktu (jam) kerja, menaikkan upah buruh, menjamin
adanya waktu istirahat dan seterusnya.
Oleh karena itu orang-orang
kapitalis terpaksa melakukan modifikasi terhadap teori kebebasan kepemilikan dan
kebebasan berusaha dengan tidak menjadikan tingkat kehidupan yang paling minim
sebagai pijakan dalam menentukan upah buruh. Sehingga dibuatlah kontrak kerja
dengan memasukkan kaidah-kaidah dan hukum hukum yang bertujuan untuk melindungi
kaum buruh dan memberikan kaum buruh hak-hak yang sebelumnya tidak pernah mereka
miliki, seperti kebebasan berserikat, hak membentuk asosiasi-asosiasi, hak mogok
kerja, memberi kaum buruh pensiun dan berbagai bonus, serta tambahan upah
lainnya. Mereka diberi hak kenaikan upah, libur mingguan, hak jaminan kesehatan
dan lain-lainnya.
Masalah-masalah perburuhan itu
sebenarnya lahir dari pijakan yang menjadi dasar sistem kapitalis, yaitu
kebebasan kepemilikan, kebebasan berusaha dan menjadikan tingkat hidup yang
paling minim sebagai pijakan dalam menentukan upah buruh. Masalah-masalah buruh
akan senantiasa ada selama hubungan antar buruh dan pengusaha tetap dibangun di
atas sistem ini. Kemudian orang orang kapitalis melakukan upaya tambal-sulam
untuk menghentikan aksi kaum buruh dan melawan provokasi-provokasi sosialis.
Upaya tambal-sulam akan terus dilakukan dalam rangka memelihara eksistensinya.
Sedangkan anggapan bahwa
terbentuknya organisasi-organisasi dan tindakan-tindakan itu merupakan solusi
terhadap masalah-masalah perburuhan adalah anggapan bohong, sebab hakikatnya
tidak lain hanyalah tambal-sulam untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh.
Namun, masalah perburuhan tidak
akan terjadi dalam Islam, sebab tidak ada kebebasan kepemilikan dan kebebasan
berusaha dalam Islam, yang ada hanyalah kebolehan kepemilikan dan kebolehan
berusaha. Antara keduanya (kebebasan dan kebolehan) terdapat perbedaan yang
sangat jauh. Kebebasan kepemilikan adalah membebaskan tangan manusia untuk
memiliki harta dengan sebab (cara) apapun. Sedangkan kebolehan kepemilikan
adalah kebolehan sebagai hukum asal kepemilikan. Kepemilikan adalah aktivitas
yang status hukumnya mubah. Tiap-tiap orang muslim boleh memiliki harta, tetapi
penggunaan kepemilikan itu terikat dengan ketentuan syara’ tentang kepemilikan,
yakni terikat dengan sebab-sebab tertentu yang yang telah ditetapkan oleh
syara’, semisal berburu, berdagang sebagai broker, dan lain-lainnya yang
telah disebutkan oleh syara’. Kebolehan itu tidak lain hanyalah sebab hukum asal
kepemilikan saja, tidak untuk memiliki dengan sebab (cara) apapun.
Begitu juga mengembangkan
kepemilikan terikat dengan hukum-hukum tertentu, semisal transaksi jual-beli dan
ijaroh. Kepemilikan barang tertentu apapun itu juga terikat dengan
hukum-hukum tertentu, semisal dengan berbagai akad dan pembelanjaan. Kebolehan
kepemilikan tidak membebaskan tangan manusia untuk memiliki apa yang diinginkan,
mengembangkan harta milik sekehendaknya, dan memiliki barang tertentu yang
diinginkannya. Tetapi kebolehan itu terbatas pada eksistensi manusia yang
dibolehkan memiliki, yakni terbatas terbatas pada hukum asal kepemilikan , tidak
yang lain. Selain itu, kepemilikan terikat dan dilarang bagi seorang memiliki,
kecuali sesuai dengan hukum-hukum syara’. Hal ini sangat berbeda dengan
kebebasan kepemilikan, sebab kebebasan kepemilikan membiarkan seseorang bebas
menguasai apapun dan memiliki dengan cara apa pun.
Begitu juga halnya dengan pekerjaan
(usaha), usaha termasuk salah satu aktivitas manusia, hukumnya mubah. Sehingga
setiap orang muslim boleh bekerja dan berusaha, tetapi cara pelaksanaan kerja
untuk memperoleh harta itu terikat dengan hukum-hukum tertentu, sehingga dia
boleh bekerja sebagai buruh, pedagang, petani dan kasir. Namun dalam menjalankan
pekerjaan itu, dia wajib terikat dengan hukum-hukum syara’. Dia tidak boleh
bekerja memproduksi minuman keras, berdagang babi, menanam ganja, bekerja di
Perseroan Terbatas (PT), usaha-usaha ribawi, tempat-tempat judi dan pekerjaan
apapun yang diharamkan oleh syara’.
Apabila dia mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang mubah, maka dia terikat dengan hukum-hukumnya. Jika dia
sebagai seorang buruh, maka dia terikat dengan hukum-hukum ijaroh. Dan
jika dia seorang broker, maka dia terikat dengan hukum-hukum broker
dan seterusnya. Kebolehan itu hanya sebagai hukum asal saja bagi pekerjaan.
Sedangkan dalam cara pelaksanaan kerjanya, maka ia terikat dengan hukum-hukum
tertentu, dia dilarang melakukan pekerjaan-pekerjaan ini. Berbeda dengan
kebebasan bekerja, sebab kebebasan bekerja membiarkan seseorang bebas bekerja
dan bebas melakukan pekerjaan apapun, dengan cara bagaimanapun yang dianggap
baik. Berdasarkan penjelasan ini jauh sekali perbedaan antara kebolehan
kepemilikan dan kebolehan bekerja dengan kebebasan kepemilikan dan kebebasan
bekerja.
Oleh karena itu, masalah-masalah
yang terjadi dalam sistem kapitalis tidak terjadi dalam Islam. Sebab kepemilikan
itu dalam Islam terikat dengan sebab-sebab tertentu, pengembangan kepemilikan
dan penguasaan barang tertentu, keduanya terikat dengan hukum-hukum tertentu
pula. Bekerja terikat dengan pekerjaan-pekerjaan yang dibolehkan dan terikat
dengan hukum-hukum tertentu yang berhubungan dengan cara mengerjakannya. Artinya
kepemilikan dan bekerja keduanya terikat dengan transaksi-transaksi yang
menghilangkan perselisihan-perselisihan dari dasarnya, sehingga masalah-masalah
ini tidak akan terjadi. Secara global transaksi-transaksi ini merupakan
hukum-hukum ijaroh yang mengatur hubungan antara buruh dan pengusaha, di
samping hukum-hukum lain yang menyangkut berbagai pekerjaan, seperti hukum-hukum
perdagangan, pertanian, perindustrian, dan hukum-hukum lain yang menyangkut
kehidupan, seperti hukum-hukum mengenai nafkah dan hukum-hukum yang menyangkut
pemeliharaan berbagai urusan (ri’ayatus su’un). Sehingga tidak membutuhkan
batasan-batasan yang mengikat pengusaha atau buruh. Dalam Islam tidak ada
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, sehingga tidak membutuhkan
batasan-batasan untuk menimbulkan (kebobrokan) sistem kebebasan kepemilikan dan
berusaha, mengingat yang ada dalam Islam hanyalah kebolehan kepemilikan dan
kebolehan bekerja atau berusaha.
Pijakan yang menjadi dasar dalam
menentukan upah seorang buruh adalah manfaat (jasa) tenaga yang dicurahkan oleh
seorang buruh di pasar umum, dan bukannya tingkat kehidupan minimum. Oleh karena
itu tidak ada tindakan sewenang-wenang para pengusaha. Seorang buruh dan pegawai
pemerintahan adalah sama. Seorang buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan upah
yang ditentukan atas buruh yang sejenis di masyarakat. Jika buruh dan pengusaha
berselisih, maka di sinilah peranan para ahli untuk menentukan upah yang sepadan
(ajr al mitsl). Mereka para ahli dipilih oleh kedua orang yang berselisih, jika
keduanya tidak bersepakat, maka dipilihkan oleh negara, dan kedua orang yang
berselisih wajib terikat dengan apa yang dikatakan para ahli.
Menentukan upah tertentu oleh
seorang penguasa tidak boleh dianalogkan dengan tidak bolehnya menentukan harga
barang. Sebab upah sebagai kompensasi jasa, sedangkan harga sebagai kompensasi
barang. Pasar menetapkan harga barang menurut ketentuan yuang berlaku di pasar.
Begitu juga halnya ketika menentukan upah atas jasa para buruh.
Sedangkan hak-hak yang diberikan
kepada para buruh sebagai tambal-sulam (kebobrokan) kapitalisme seperti
kebebasan berserikat. Syara’ membolehkan setiap rakyat berserikat, baik mereka
sebagai buruh atau bukan. Mengenai pembentukan asosiasi-asosiai, tidak ada
asosiasi dalam Islam. Sebab mengurusi berbagai urusan umat adalah tanggung jawab
negara, yakni hanyalah imam (khalifah) yang berhak mengurusi urusan-urusan
tersebut. Baik semua maupun sebagian saja. Mengingat fungsi asosiasi-asosiasi
itu adalah mengurusi urusan-urusan (ria’yatus syu’un) orang yang bergabung
dengan asosiasi tersebut, maka tidak diperbolehkan.
Tentang hak mogok kerja. Ijaroh
termasuk transaksi-transaksi yang wajib (dipenuhi), bukan transaksi transaksi
yang mujbah (dipenuhi), sehingga tidak ada hak bagi siapa pun dari
keduanya membatalkan transaksi tersebut. Seorang buruh wajib melakukan sesuai
yang dikontrakkan kepadanya. Jika dia tidak melakukannya, maka dia tidak berhak
atas upah. Oleh karena itu, tidak ada hak mogok kerja bagi seorang buruh.
Tentang uang pensiun, bonus dan
kompensasi-kompensasi yang lain, itu pun termasuk taktik tambal-sulam
kapitalisme untuk meringankan kezaliman sistem kapitalisme. Sebab, seharusnya
orang tidak mampu bekerja memperoleh kesejahteraan dari negara, sehingga tidak
membutuhkan uang pensiun, bonus dan kompensasi kompensasi yang lain. Memenuhi
kebutuhan primer adalah tanggung jawab negara, bagi setiap orang yang tidak
mampu, bukan tanggung jawab pengusaha. Sebab termasuk pemeliharaan terhadap
urusan-urusan warga negara, sedang aktivitas tersebut bukan kewajiban pemilik
pekerjaan.
Adapun apa yang dibutuhkan para
pekerja, seperti jaminan kesehatan mereka dan keluarganya, jaminan pendidikan
atas anak-anaknya dan jaminan lainnya, semuanya merupakan tanggung jawab negara,
bukan tanggung jawab pemilik pekerjaan (pengusaha) dan tidak dibahas dalam
konteks buruh. Sedangkan jaminan nafkah mereka, setelah mereka tidak bekerja
lagi maka menjadi tanggung jawab negara. Sebab jaminan nafkah itu menjadi
tanggung jawab negara, ketika mereka tidak mendapatkan pekerjaan. Bila mereka
tidak mempunyai pekerjaan, maka secara hukum mereka tergolong orang yang tidak
mampu, ketika itu diterapkan atas mereka hukum-hukum nafkah.
Inilah kajian tentang para pekerja
dalam sistem kapitalis. Masalah-masalah yang terjadi sekarang di pabrik-pabrik
dan perusahaan-perusahaan, tidak mungkin terjadi dalam kajian para buruh dalam
Islam. Sebab masalah ini tidak mungkin ada dalam Islam, karena berbedanya
pijakan yang menjadi dasar dalam menentukan upah buruh serta berbedanya
pandangan tentang jaminan terhadap orang-orang miskin dan tidak mampu dan
jaminan untuk mendapatkan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki
pekerjaan. Konsep negara dalam Islam berbeda dengan konsep negara dalam
demokrasi. Sebab negara dalam Islam adalah satu-satunya lembaga yang secara
langsung menangani semua urusan rakyat. Namun, negara dalam demokrasi terdiri
dari banyak lembaga yang semunya dikontrol oleh satu lembaga yaitu negara.
Inilah sumber keempat di antara
sumber-sumber ekonomi yaitu tenaga manusia, atau lebih baiknya disebut buruh.
Dari uraian secara global ini, jelaslah bahwa syara’ membolehkan transaksi
ijaroh dan boleh bagi dua orang yang bertransaksi membuat syarat yang
dikehendaki, sebab Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang muslim itu berada
di perjanjian akadnya (syaratnya).”
Islam
menjadikan manfaat (jasa) tenaga sebagai pijakan dalam menentukan upah serta
menjadikan penilaian pasar umum terhadap tenaga sebagai pemutus. Jika kedua
orang yang bertransaksi berselisih, dan keduanya wajib terikat dengan apa yang
ditentukan pasar sesuai dengan penilaian para ahli sehingga perselisihan dalam
semua transasksi ijaroh tidak terjadi. Dengan demikian syara’ memberikan
peluang pada para pengusaha dan buruh untuk mencurahkan tenaganya yang tidak
terbatas dalam berproduksi. Wallahu a’lam bisshawab.
(tm)
|
|
PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA
(PLN)
Industri listrik di Indonesia dimulai pada
akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan
pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Pengusahaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum dimulai sejak perusahaan
swasta Belanda NV. NIGM memperluas usahanya di bidang kelistrikan,
yang semula hanya bergerak di bidang gas.
Setelah diproklamirkannya kemerdekaan
Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, perusahaan listrik yang dikuasai
Jepang direbut oleh pemuda-pemuda Indonesia pada bulan September
1945, lalu diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Pada
tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas oleh
Presiden Soekarno. Waktu itu kapasitas pembangkit tenaga listrik
hanyalah sebesar 157,5 MW.
Tanggal 1 Januari 1961, dibentuk BPU - PLN
(Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di
bidang listrik dan gas. Tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan
dan dibentuk 2 perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara
(PLN) yang mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN)
yang mengelola gas. Saat itu kapasitas pembangkit tenaga listrik PLN
sebesar 300 MW.
Tahun 1972, Pemerintah Indonesia menetapkan status Perusahaan
Listrik Negara sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN). Tahun
1990 melalui peraturan pemerintah No 17, PLN ditetapkan sebagai
pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan.Tahun 1992, pemerintah
memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam
bisnis penyediaan tenaga listrik. Sejalan dengan kebijakan di atas,
pada bulan Juni 1994 status PLN dialihkan dari Perusahaan Umum
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Dasar Hukum PLN meliputi:
(1). Anggaran Dasar PLN tahun 1998. (2). Peraturan Pemerintah No
23 tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum)
Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan / Pesero. (3). Peraturan
Pemerintah No 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan / Pesero.
(4). Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 1998 tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas. (5). Instruksi Presiden No 15 tahun 1998 tentang
Pengalihan Pembinaan terhadap Perusahaan Perseroan (Pesero) dan
Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki Negara Republik
Indonesia kepada Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. (6). Peraturan
Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Usaha PLN: Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) No 18 tahun 1972 juncto PP No 54
tahun 1981 dan Undang-Undang No 15 Tahun 1985 sebagai juncto PP No
17 tahun 1990, dengan tugas menangani penyediaan tenaga listrik bagi
kepentingan umum.
Namun pada perkembangan industri listrik indonesia masuk kepasar
global dunia terutama yang berkaitan dengan pasar modal melalui
saham yang dijual di bursa efek. Sehingga saham-saham itu bisa
menjadi milik pribadi pemilik modal. Menurut pengamat industri
keistrikan CSIC Ulun Nidzam, hal ini mengakibatkan kebijakan listrik
masuk ke paradikma bisnis murni untuk meraup keuntungan, bukan
paradikma pelayanan umum oleh negara kepada rakyat sebagai fasilitas
umum. Lebih jauh lagi akhirnya idustri listrik negara seolah
tergiring oleh kemauan pemegang saham, dengan perencanaan keuntungan
maximal, terlebih-lebih setelah terimbas krisis moneter. Masih
menurut Ulun, akibatnya bisa membahayakan kehidupan bernegara, jika
terjadi reaksi yang hebat dari masyarakat atas perlakuan ini, sebab
energi listrik telah menjadi bagian denyut nadi kehidupan sebagian
besar masyarakat.
Tetapi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, setuju harga listrik
dinaikan. Yayasan ini menyatakan setuju terhadap kenaikan bersyarat
terhadap tarif tiga komoditas strategis yaitu bahan bakar minyak /
BBM, tarif dasar listrik / TDL dan tarif telepon. Yayasan ini
menyadari, kenaikan tiga komponen publik strategis dengan cara
memberikan tambahan biaya kepada masyarakat mampu tersebut tidak
dapat dielakkan pemerintah. Meskipun dengan konsekuensi akan
menaikkan inflasi, namun kalau tidak cermat dapat memperbesar jumlah
orang miskin dan krisis sosial yang lebih parah di Indonesia.
Yayasan ini mengajukan beberapa syarat kepada pemerintah mengenai
kenaikan itu. Pertama, pemerintah harus mempunyai perencanaan besar
yang rinci mengenai pengurangan subsidi BBM dan TDL yang mencakup
tahapan pengurangan subsidi yaitu: kenaikan harga BBM dan TDL, kapan
harga BBM dan TDL tanpa subsidi sama sekali, program sosialisasi,
kategori orang miskin dan bentuk subsidi dan sistem
monitoring/evaluasi subsidi. Kedua, kalangan pemerintah dan DPR
seharusnya membahas sistem dan bentuk subsidi terlebih dahulu,
bukannya membahas kenaikan atau pengurangan subsidi. Pemerintah juga
harus memastikan bahwa masyarakat mengerti perhitungan tarif
tersebut. Itu dilakukan dengan sistem sosialisasi terpadu, sebelum
dan setelah tarif dinaikkan, untuk apa kenaikan tersebut, dan
bagaimana pengawasannya harus menyertai partisipasi masyarakat.
Pendapat ini bisa dimengerti karena PLN merupakan perseroan terbatas
milik negara / BUMN.
Pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi
Perseroan Terbatas berdasarkan PP No. 23 tahun 1994 dan Akte Notaris
No. 169 tanggal 30 Juli 1994, PLN telah berubah menjadi Persero,
disebabkan seluruh sahamnya masih diakui Pemerintah. Sebagai BUMN
berbentuk Persero maka perusahaan harus dikelola sesuai dengan
prinsip perusahaan yang sehat dan memupuk keuntungan sehingga mampu
membiayai pengembangan penyediaan tenaga listrik. Hal ini
disebabkan, tugas pokok PT PLN (Persero) adalah: Menyediakan tenaga
listrik dalam arti seluas-luasnya bagi kepentingan umum,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.
Namun keuangan PLN pada 5
tahun terakhir (1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000) mengalami
permasalahan yang serius. Pada tahun 1996 laba mencapai Rp 1,2
triliun dengan kurs Rp 2.407/USD. Tahun 1997 rugi Rp 0,6 triliun
dengan kurs Rp 4.673/USD. Tahun 1998 rugi Rp 9,2 triliun dengan kurs
Rp 8.065/USD. Kekurangan kas sejak 1998 mengakibatkan PLN
tidak membayar hutang penerusan pinjaman ke Departemen Keuangan dan
tidak membayar listrik swasta secara penuh. Dan pada tahun
1999 PLN mengalami kerugian sebesar Rp 11,4 triliun.
Dan pada tahun 2000 PLN mengalami kerugian sebesar Rp 24,6 triliun.
Sebab-sebab kerugian yang dideritanya menurut PLN adalah, depresiasi
Rp/USD sejak 1997 menyebabkan biaya operasi naik dan tarif yang
berlaku tidak dapat menutup kenaikan biaya. Hal ini terjadi karena
pemerintah membekukan implementasi TTLB (Tarif Tenaga Listrik
berkala) yang memungkinkan penyesuaian otomatis karena kurs yang
tidak wajar. Krisis ekonomi juga turut menyebabkan menurunnya
tingkat penjualan.
PLN melakukan langkah-langkah untuk mengatasi keuangan tersebut, PLN
melakukan restrukturisasi keuangan dengan melakukan restrukturisasi
pinjaman PLN kepada pemerintah, Revaluasi aset, rasionalisasi
Kontrak Listrik Swasta, rasionalisasi Kontrak Gas, kenaikan TDL
secara bertahap menuju nilai keekonomiannya, serta subsidi
pemerintah untuk menutup kekurangan pendapatan.
Termasuk solusi yang diambil PLN adalah restrukturisasi keuangan
yang meliputi: Restrukturisasi pinjaman, yaitu konversi hutang PLN
kepada pemerintah menjadi PMP, revaluasi aset, yaitu revaluasi aset
dan restrukturisasi pinjaman. Dan menurut PLN, pemerintah telah
memutuskan untuk merestrukturisasi pinjaman dulu, dan revaluasi aset
akan ditetapkan pada waktu yang tepat.
Menurut pengamat kelistrikan dari Istac: Bahrul Ulum, bahwa
pemikiran pengelolaan listrik oleh negara tidak boleh didasarkan
atas paradikma keuntungan, karena listrik adalah bagian dari
fasilitas umum yang pengelolaannya ditangan negara dengan paradikma
pelayanan kepada rakyat, bukan bisnis untuk meraup keuntungan oleh
pemegang saham. Sehingga pengopinian di media masa tentang perlu
tidaknya kenaikan harga listrik adalah tidak tepat, apalagi
mengiklankan kelayakan kenaikan tarif listrik. Namun ini tidak
berarti listrik tarifnya tidak dapat dinaikan sepanjang untuk biaya
produksi yang efisien. Akan tetapi menyangkut hasil keuntungan
industri listrik tidak boleh dibagi kepada pemilik saham, sebab dia
adalah milik masyarakat umum. Lalu siapa yang akan menjadi pemodal
jika pemilik saham tidak mendapatkan bagian keuntungan?
Jawaban terhadap problem permodalan pengelolaan fasilitas umum
adalah tanggung jawab negara, karena bagian dari kewajiban negara
melayani rakyat. Indifidu dari rakyat boleh saja memberikan
permodalan pada pengelolaan fasilitas umum, selama dengan motif
tidak mencari keuntungan, sosial, amal baik, ikhlas dsb. Apabila
indifidu bermaksud dagang mencari keuntungan harus diluar sektor
pemilikan umum, bukan di sektor pemilikan umum: listrik,
telekomunikasi, jalan raya, tol dsb.
Oleh karena itu selama industri listrik dipecahkan dengan cara-cara
kapitalisme, akan tetap menjadi problem yang rumit, permodalan
rentan terhadap krisis moneter, rentan terhadap krisis ekonomi,
rentan terhadap reaksi masyarakat yang menolak keras kenaikan harga
yang memungkinkan timbulnya anarkisme dsb. Sehingga persoalan ini
perlu dipecahkan secara mengakar, diamandemenkan pemilikan negara
terhadap fasilitas umum kepada pemilikan umum, dan bukan menjadi
pemilik pemegang saham permodalan swasta, yang berarti milik
indifidu dan juga bukan pemilikan negara, melainkan pemilikan umum
yang penggunaannya diatur oleh negara. Apabila reformasi industri
kelistrikan ini menyentuh seluruh aspeknya menyangkut
perundang-undangan pemilikannya, sistem dan paradikma pengelolaan
dan permodalannya, dan dilaksanakan oleh sdm yang profesional dan
bertakwa, tentu akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap
industri listrik secara umum. Lalu pertanyaannya kapan perubahan
akan terjadi, bagaimana caranya, oleh siapa / fihak mana yang
melalukannya ? Kita tunggu saja realitasnya. (tm)
|